Jumat, 19 April 2013


Saya baru sadar dan mengerti tentang satu hal. Sebuah perkataan seorang khatib jum'at siang tadi, mengingatkan saya akan sebuah tindakan, bagaimana saya harus mensikapinya. Ya, yang harus saya lakukan saat ini adalah memaafkan. Memaafkan belum tentu bisa dilakukan oleh setiap orang, bahkan kebanyakan orang hanya meminta maaf, bukan memberi maaf.

Sulit memang, tapi ini harus saya lakukan dan saya mulai dari sekarang. Jadi, rumusan masalahnya adalah, sudahkah saya memaafkan semua kesalahan orang lain? Sudahkan meminta maaf atas kesalahan yang pernah saya perbuat??

Kekuatan terbesar dalam hidup, bukan karena memiliki kekuatan super ataupun bisa berubah bentuk menjadi manusia jagoan, seperti dalam film-film, misalnya saja superman, spiderman, batman, dan lain sebagainya. Hakikat dari kekuatan terbesar terdapat dalam diri manuisa itu sendiri, yaitu ketika ia mampu memaafkan kesalahan orang lain. Hal ini dicontohkan langsung oleh Rasulullah kepada sahabat dalam kehidupan sehari-hari.

Rasulullah saw adalah manusia biasa, sama seperti manusia yang lainnya. Hanya saja Rasulullah memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh manusia lain, yaitu memperoleh wahyu dan mukjizat dari Allah SWT. Sebagai pemimpin umat dan manusia pilihan, Rasulullah sangat rendah hati, sederhana, dan pribadi yang sangat lembut. Salah satu teladan yang banyak dilupakan oleh umatnya adalah dalam hal memaafkan. Bagaimana Rasulullah ketika dihina, dicaci, dan diusir oleh penduduk mekah, ketika berdakwah menyampaikan risalah Allah. Tapi, Raslullah tidak pernah marah apalagi merasa dendam terhadap mereka.

Kenyataan dalam kehidupan sehari-hari memang sulit dihindarkan. secara teori memaafkan sangatlah mudah, tetapi ketika kasusnya menimpa diri kita maka tersa sangat sulit untuk melakukannya. Masalah sepele saja dibesar-besarkan, merasa tidak terima, tidak puas dengan keputusan orang lain dan lain sebaginya, sehingga malah menimbulkan perasaan "gondok" dan rasa dongkol di dalam hati.

Padahal permasalahan sebesar apapun, jika kita mampu memaafkan pastilah masalah itu selesai. Tetapi sering kali yang dilakukan adalah dengan mengedepankan keegoisan masing-masing, sehingga yang timbul adalah merasa paling benar sendiri. Jika sudah timbul perasaan seperti ini, maka yang timbul selanjutnya adalah bagaimana membela diri dan mencari dalih untuk mengatakan bahwa dirinya berada pada posisi yang benar. Saya teringat dengan sebuah ungkapan seorang tokoh filsafat :

"Kita tidak melihat segala sesuatu apa adanya. tetapi kita melihatnya sesuai dengan persepsi kita". [Socrates]

Apa yang dikatakan oleh Socrates memang benar adanya. Dalam menghadapai masalah misalnya, tentu yang lebih dikedepankan adalah sisi egoismenya. Jika masalah itu ditanggapi dengan berbagai sudut pandang, dari berbagai sisi, tentu masalah tidak akan berujung. Yang ada malah bertambah rumit.

Kuncinya hanya satu yaitu mengalah dan memaafkan. akan tetapi sudahkan siapkah kita mengalah, sudah bisakah kita memaafkan? karena rasa ego yang ada di dalam diri kita masih sangat kuat, sehingga sama-sama ingin menang dan merasa benar sendiri.

Bagi siapapun yang pernah saya dzolimi, saya mohon dimaafkan. Begitu juga, kesalahan siapapun dalam bentuk apapun sudah saya maafkan. Hari ini, detik ini, kita tos-tosan atau kosong-kosong. Maksudanya kita sudah sama-sama bersih, tidak ada dosa lagi. []

ttd
Oyonk 

0 komentar:

Posting Komentar

PSI UIN SGD © 2011 - 2013 Oyonk