------------------------------------------------------------------------------------------------------- koleksi pribadi

Rabu, 18 September 2013

Setiap manusia punya rasa cinta,
yang mesti dijaga kesuciannya
namun ada kala insan tak berdaya,
saat dusta mampir bertahta

Kuinginkan dia, yang punya setia.
Yang mampu menjaga kemurniaanya.
Saat ku tak ada, ku jauh darinya,
amanah pun jadi penjaganya

Hatimu tempat berlindungku,
dari kejahatan syahwatku
Tuhanku merestui itu,
dijadikan engkau istriku

Engkaulah.....
Bidadari Surgaku

Tiada yang memahami,
sgala kekuranganku
kecuali kamu, bidadariku

Maafkanlah aku
dengan kebodohanku
yang tak bisa membimbing dirimu

Hatimu tempat berlindungku,
dari kejahatan syahwatku
Tuhanku merestui itu,d
ijadikan engkau istriku

Engkaulah.....
Bidadari Surgaku

-----------------------

Saya pikir semua orang kenal dengan lirik lagu di atas? Ya lirik lagu ini adalah persembahan terakhir dari Alm. Ustadz Jeffry al-Buchori. Lagu ini pertama kali dibawakan live oleh Alm. ketika di undang oleh Empat Mata, trans7. Disana pula almarhum membawa sang istri tercinta, yang kala itu meneteskan air mata ketika dilantunkannya lagu "Bidadari Syurga" ini.

Beberapa hari yang lalu, ketika Istri Alm. di undang ke acara empat mata untuk yang kedua kalinya, Umi Pipik atau Mbak Pipik biasa disapa, tersedu dan mengucurkan air mata kala video kenangan beliau bersama alm. menyanyikan lagu tersebut diputar. Tak hanya Mbk Pipik, tetapi penonton di studio juga banyak yang ikut menangis kala itu.

Saya juga ikut sedih dan pengen nangis. Tapi karena banyak teman-teman juga yang nonton, jadinya jaim dong. Terlebi saya kan anak cowok, masak cengeeng.

Sosok Alm. Uje merupakan figur yang sangat baik, kepada saya, anak-anak bahkan kepada sahabat-sahabatnya. ungkap sang istri yang baru saja selesai masa iddahnya.

Sebelum meninggal pun beliau sempat mengatakan "Ummi... Ummi harus jadi kayak seperti Abi.. " walaupun pada waktu itu Mbak Pipik tidak merasakan itu sebagai sebuah pertanda bahwa sang ustadz gaul itu akan pergi untuk selama-lamanya.

Semoga keempat anak Alm. bisa menjadi penggantinya kelak. Uje meninggal dunia pada tangga 26/04/13 setelah pulang dari kemang dengan mengendarai motor kawasaki. Beliau membentur pohon palm hingga kepala bagian sebelah kiri terluka parah. Ketika di rumah sakit ternyata beliau sudah tiada. Sebelum berangkat ke kemang, kondisi beliau memang kurang sehat. bahkan ketika pulang dari kemang sempat terjatuh dua kali.

Semoga Allah menerima amal beliau, dan memasukannya ke dalam orang-orang yang beruntung. Amiin []
Apa yang akan anda rasakan ketika berada diposisi saya? Anda memiliki seorang pasangan yang sangat anda sayangi dan anda cintai. Suatu ketika pasangan anda terkena sakit yang begitu dahsyat. Apakah anda tega membuat ia sendirian melawan rasa sakitnya, tentu tidak bukan. Nah itulah yang saat ini saya alami, saat ini saya jalani. 

Sewaktu sama-sama sehat kita sering banget berantem, alasannya sih hanya sepele. Tetapi begitu saya tahu pasangan saya memiliki penyakit yang begitu dahsyat, saya pun berubah seratus delapan puluh derajat.

Walaupun dulu kita sering berantem, tetapi sedikitpun saya tidak memiliki perasaan untuk membencinya dan meninggalkannya. Perasaan saya kepadanya tetap sama, tak sedikitpun berubah.

Jika anda berfikir setelah tahu pasangan saya memiliki penyakit, lalu kemudian saya akan meninggalkannya! Jika anda berfikir demikian anda salah besar, terlalu naif dan tidak memiliki perasaan. Saya sudah merasa nyaman, sreg, dan cocok. Jadi tak mungkin semuanya saya tinggalkan hanya karena masalah yang sepele seperti ini. Dulu saya membangunnnya dengan cara yang begitu sulit, masak harus berakhir? Sekali lagi saya katakan tentu TIDAK!!

Perasaan sayang ini sudah begitu kuat dan tak bisa lagi dikalahkan oleh perasaan apapun. Dulu semenjak saya bertemu dengan pasangan saya pertama kali, saya katakan bahwa saya sudah merasa yakin dan ingin selamanya hidup bersama, apapun resiko dan kesulitannya. Ketika pertama bertemu saya sudah memantapkan diri untuk benar-benar memilihnya.

Tetapi satu hal yang saya katakan, dan itu adalah ungkapan sebagai bentuk merendahkan diri, tidak sombong dan berusaha menguji kesetiaan pasangan saya. Saya katakan seperti ini “saya ingin hidup bersama kamu nantinya, tetapi maaf jika saya tidak bisa membahagiakan kamu. Kalau kamu siap hidup susah dengan saya ya ayo, tapi kalau gak mau susah ya mendingan silakan pergi....” saya ingat betul ucapan itu yang saya lontarakan padanya.

“neng sabar ya.... Kelak kita akan bersama dan bisa melewati ini semua dengan indah”. Saya ingat bertul film yang berjudul “Cinta Brontosaurus” dalam film itu dikatakan bahwa cinta itu akan ada masa kadaluwarsa. Kalau lagi pacaran terus kadaluwarsa, kan bisa putus. Tapi kalau sudah menikah keputusan terakhirnya adalah cerai, tentu sangat menyakitkan.

Tapi, di film tersebut dibantah. Seiring dengan berjalannya waktu ia (Dhika) akhirnya merngerti dengan apa maksud cinta kadaluwarsa. Cinta itu sederhana, “aku sayang dia..” tanpa harus ada alasan. Meski sering bertengkar kemudian baikkan lagi, nah yang kayak gitu itu hanya bumbu percintaan. Toh pada akhirnya akan happy ending.

Jumat, 10 Mei 2013

Hari pendidikan adalah hari yang begitu spesial bagi saya. Karena dengan adanya pendidikan saya bsia mengenal banyak hal, dan tahu segala hal. Saya bersyukur dengan adanya pendidikan justru saya bisa menjadi seperti saat ini. Menjadi seorang mahasiswa tentu tak semudah kita membalikan tangan. Ada serangkaian proses yang harus saya tempuh dan itu memakan waktu bertahun-tahun.

Jika perjuangan yang bertahun-tahun itu saya tinggalkan tentu saat ini gelar mahasiswi tidak mungkin saya raih. Perjuangan yang cukup lama itu saya namakan “sekolah”. Sekolah itu tidak mudah, sekolah itu butuh kesabaran, ketekunan, kedisiplinan dan keuletan. Jika empat unsur ini hilang saya jamin dikelas hanya akan jadi siswa biasa dan akhirnya menjadi lulusan yang biasa pula.

Lain halnya jika keempat unsur itu betul-betul ditanamkan dan diaplikasikan dalam keseharian tentu akan melahirkan kekuatan super dahsyat. Lebih jelasnya, di sekolah akan punya prestasi yang baik dan akhirnya jadi siswa dan lulusan terbaik.  Inilah yang guru-guru kita harapkan bukan? Disinilah peran siswa dan guru yang bermain.

Bertepatan dengan hari pendidikan, saya ingi mengucapkan terima kasih banyak kepada seluruh guru-guru yang telah begitu banyak berjasa. Mengajari saya dengan penuh keikhlasan dan kesabaran kala itu, hingga akhirnya saya bisa mengerti dan merasakan semua yang telah diajarkan. Jika bukan karena keihlasan dan kesabaran guru-guru semuanya, mungkin semua ini tidak akan saya rasakan.

Kepada guru-guru Sekolah Dasar, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah sekali lagi saya ucapkan terima kasih banyak atas semua ilmu yang telah diajarkan. Saya mohon maaf bila dulu ada perkataan atau perbuatan yang tidak berkenan. Saya menyanyagi kalian semuanya. Semoga kelak amal baik ini Allâh swt yang membalasnya dengan balasan surga. Amîn.

Ucapan terima kasih yang kedua saya ucapkan kepada lembaga pendidikan yang sudah bekerja ekstra untuk memikirkan pendidikan di negri ini. Semoga usahanya tidak sia-sia, dan mendapatkan hasil. Semoga gagasan yang saat ini dirancang betul-betul terrealisasi dan mampu memberikan dampak perubahan karakter bagi rakyat indonesia.

Pendidikan memang tidak hanya menyangkut lembaga saja. Secara garis besar keluarga dan masyarakat juga terlibat dalam dunia pendidikan itu sendiri. Pendidikan sekolah tidak mungkin berhasil apa bila pendidikan masyarakat tidak mendukung. Begitu juga pendidikan di keluarga, jika pendidikan keluraga baik tetapi di sekolah tidak mendukung maka akan mempengaruhi.

Berarti pendidikan itu bisa dikatakan berhasil apabila ketiga komponen itu betul-betul bergerak dan terlibat. Sedangkan tugas mendidik itu dibebankan kepada siapa?? Praktisi pendidikan saja kah?? Tentu inilah yang harus digali dan dipahami. Tugas mendidik adalah tugas bersama, jika mendidiknya salah maka resokonya fatal. Oleh karenannya marilah kita buat keluraga yang mendidik, sekolah yang mendidik, dan lingkungan yang mendidik. []

Kamis, 09 Mei 2013

Kisah “aku terpaksa menikahimu dan akhirnya aku menyesal” adalah kisah rumah tangga yang sangat memberi pelajaran bagi kita semua. Penyesalan yang datangnya hanya pada akhir karena keterpaksaan.

SEMOGA MENJADI INSPIRASI.....
***
Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.

Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.

Setelah menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.

Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.

Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.

Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.

Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.

Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.

Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.

“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.

Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”

“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi.Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.

Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.

Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera.

Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.

Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu.

Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.

Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.

Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai.

Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.

Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.

Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.

Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus.

Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.

Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas.

Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja.

Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga.

Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.

Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.

“Istriku Liliana tersayang,...
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.

Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.

Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.

Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!”
***

Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.

Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajeri oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.

Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.

Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”

Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”

Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?

Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”

Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.
_____________________________________________
Begitulah penyesalan sang istri akhirnya, dia menangis dan menyesal. Ketika suaminya telah tiada, dia baru sadar betapa besarnya cinta suaminya kepada dia. Semoga hal ini tidak terjadi lagi dalam kehidupan sekarang tetapi hanya cintanya saja yang akan terjadi.

dipublikasikan oleh berbagai sumber
(zafaran/muslimahzone.com)

PSI UIN SGD © 2011 - 2013 Oyonk